Gaji dan Hak Karyawan Tidak Diberikan Sesuai Aturan, DPRD PPU Undang RDP PT Bina Mulya Berjaya

Berita, Daerah140 Dilihat

Kacamatanegeri.com, PENAJAM – DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) melalui Komisi I yang diketuai Ishak Rachman menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama karyawan dan perwakilan manajemen PT Bina Mulya Berjaya di Ruang Rapat, Lantai III, Gedung DPRD PPU, Rabu (7/5/2025).

Turut serta dalam RDP instansi terkait Kepala Disnakertrans PPU guna mendengarkan tuntutan eks karyawan di PT Bina Mulya Berjaya yang beralamat di Jl Provinsi, Km 19, Kelurahan Petung, PPU, yakni Hasanudin (46) dan Sarmani (41).

Menurut Ishak, RDP membahas adanya laporan 2 eks karyawan yang bekerja sebagai supir truk pengangkut semen Conch dan sudah di PHK sejak April 2025. Keduanya melapor tidak mendapat hak karyawan sepenuhnya selama bekerja di PT Bina Mulya Berjaya yang beralamat di Jl Provinsi, Km 19, Kelurahan Petung, PPU

“Dijelaskan keduanya,saat menjadi karyawan tidak jelas perjanjian kerjanya, ada yang berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) kemudian berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),” katanya.

Kemudian lanjut Ishak, di dalam perjanjian kerja juga tidak tertuang berapa nilai nominal retasinya, Karena tidak mengacu pada gaji pokok, juga yang paling miris PHK dilakukan dadakan, tidak sesuai dengan normatif pada pemberitahuan sebelumnya. “Tiba-tiba langsung datang pemberitahuan PHK, hal itu juga melanggar aturan,” ujarnya pada media di sela sela RDP.

Ishak mengatakan, bahwa berdasarkan penelusuran melalui Sistem Online Single Submision (OSS) diketahui bahwa PT Bina Mulya Berjaya termasuk dalam perusahaan yang bergerak di bidang logistik dengan risiko tinggi.

“Nah setelah kita lakukan pengecekan tadi, sebelum istirahat, muncul bahwa di OSS itu sebenarnya kegiatannya risiko tinggi, namun di OSS itu belum terbit izinnya,” tambahnya.

Ishak menjelaskan, bahwa perusahaan yang bergerak di bidang risiko tinggi harus terintegrasi di OSS termasuk dalam penerbitan izinnya. Jika sesuai aturan harus menunggu minimal 90 hari untuk menunggu penerbiyan izin agar bisa beroperasi.

“Kalau surat ijin tidak terbit tidak boleh beroperasi, Kemudian kalau OSSnya tidak jalan berarti perpajakannya gimana,” keluhnya.

Ishak menambahkan, setelah dilakukan pengecekan, bahwa karyawan yang bekerja sebagai supir itu ternyata tidak dibayar sesuai gaji pokok, namun berdasarkan sistem ritase sebagai pengganti upah kerja

“Nah di dalamnya juga karyawan itu ternyata tidak dibayar dengan gaji pokok, tapi berdasarkan ritase,” ungkapnya.

Pemberian THR Juga Bermasalah, Perusahaan Bisa Ditutup Sementara

Selain itu Ishak mengungkapkan adanya temuan terkait Tunjangan Hari Raya (THR) terhadap karyawan tidak diberikan sesuai aturan yang berlaku.

“Kalau THR juga bermasalah. THR yang diberikan hanya Rp 300 ribu  kemudian Rp 500 ribu, setelah ada perselisihan hubungan industrial di bulan Maret, barulah karyawan diberikan THR berdasarkan UMK,” paparnya.

Ishak menegaskan, bahwa pihak perusahaan harus menyelesaikan kewajibannya dengan membayar kekurangan terkait perhitungan THR harus segera dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku.

“Ya bayar semua THR sesuai aturan. Yang kurang bayar harus dibayar, nah kita minta hitungan yang jelas. Kalau PHK menggunakan hitungan apa, karena tidak menggunakan gaji pokok,” tegasnya.

Ishak menyayangkan, sikap dari pihak PT Bina Mulya Berjaya yang dianggap kurang koperatif, menurutnya pimpinan perusahaan tersebut semestinya hadir di dalam RDP sehingga dapat memberi keterangan secara langsung.

“Memang sempat memanas dari awal, karena yang didatangkan bukan manajemen, tapi pengacara.

Saya bilang, ini mengabaikan tugas DPRD sebagai lembaga representatifnya masyarakat PPU,” sesalnya.

Ishak mengungkapkan, jika pihak PT Bina Mulya tidak ada itikad untuk melengkapi dokumen perizinan sesuai peraturan yang ada di OSS, selanjutnya adalah kewenangan ada di pemerintah kabupaten (Pemkab) yang memiliki kapasitas jika harus dilakukan penutupan sementara.

“Ya kita merekomendasikan, terkait adanya temuan-temuan pelanggaran, tinggal pemerintah daerah. Rekomendasi kami jelas, bahwa kalau memang di aturan OSS ditutup, ya silahkan pemerintah. Kapasitas ini kan ada di kepala daerah, bukan DPRD,” ungkapnya. (*/ant/dwn)